PERTEMUAN 12( KELAS XI)
4. Faktor Penyebab Konflik
Para sosiolog berpendapat bahwa akar timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial,
ekonomi, politik yang akarnya adalah perbuatan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan
kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaan sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata
di masyarakat. ketidakmerataan pembagian asset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap
sebagai bentuk ketimpangan. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua yaitu:
1. Kemajemukan horizontal yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural
seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaanpekerjaan dan
profesi. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural
tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin
mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
2. Kemajemukan vertical, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan,
pendidikan dan kekuasaan. Kemajemukan vertical dapat menimbulkan konflik sosial karena ada
sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai kekayaan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan
kewenangan yang besar sedangkan sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan
rendah dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Selanjutnya, beberapa sosiolog menjabarkan kembali akar penyebab konflik secara lebih
luas dan terperinci. Ada beberapa hal yang lebih mempertegas akar timbulnya konflik di antaranya:
1. Perbedaan antar individu meliputi perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek
yang dipertentangkan
2. Benturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik
3. Perubahan sosial yang terjadi secara mendadak
4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group.
Empat factor tersebut bukanlah factor penyebab utama terjadinya konflik melainkan factor
pemicu terjadinya konflik sosial. Pandangan penganut perspektif konsesus, penyebab utama dari
konflik sosial adalah disfungsi sosial. Artinya, nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada dalam
struktur sosial tidak lagi ditaati, pranata sosial dan system pengendaliaanya tidak berjalan
sebagaimana semestinya. Lain halnya pandangan dari penganut teori konflik menjabarkan penyebab utama konflik adalah adanya perbedaan ketimpangan hubungan dalam masyarakat yang
memunculkan diferensiasi kepentingan. Menurut Turner ada beberapa factor yang memicu
terjadinya konflik sosial, di antaranya:
1. Ketidakmerataan distribusi sumber daya yang sangat terbatas di dalam masyarakat
2. Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah
3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan
4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya
mobilitas sosial ke atas
5. Melemahnya kekuasaan Negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah oleh elite
6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideology radikal
Michael E. Brown mengidentifikasi sebab-sebab konflik internal dalam dua kategori yaitu
sebab-sebab pokok (underlying causes) dan sebab-sebab ppemicu atau katalis (proximate causes).
Sebab-sebab pokok merupakan suatu kondisi atau situasi yang membuat suatu wilayah memiliki
potensi yang besar untuk tersulut konflik. Terdapat empat kategori dari sebab-sebab pokok suatu
konflik menurut Brown yaitu factor structural yang mencakup kondisi Negara yang lemah,
permasalahn keamanan, geografi dan etnis.
5. Dampak Konflik
Konflik tidak selamanya berdampak negative, tetapi juga memiliki dampak positif.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ritser dan Goodman yang diperluas oleh Coser bahwa konflik dapat
membantu mempererat ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang
mengalami disintegrasi atau konflik dengan masyarakat lain dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
Dengan kata lain konflik dapat membantu pembentukan dan peningkatan solidaritas in group.
Parson, Jorgersen dan Hernandes menyebut beberapa konflik adalah meningkatkan kohesivitas
kelompok, memunculkan isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam, memperjelas batas-batas
dan norma-norma kelompok serta mempertegas tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan menurut
Rothshild menjelaskan bahwa konflik dapat pula digunakan sebagai alat politisasi bahkan ditemukan
bahwa konflik dilakukan oleh penguasa (otoritas) bagi kepentingan penguasanya.
Ada banyak dampak dari konflik, akan tetapi para sosiolog sepakat menyimpulkan dampak
atau akibat dari konflik tersebut ke dalam lima poin sebagai berikut ini:
1. Bertambah kuatnya rasa solidaritas kelompok
Solidaritas kelompok akan muncul ketika konflik tersebut melibatkan pihak-pihak lain yang
memicu timbulnya pertentangan ( antagonism) di antara pihak yang bertikai. Eksistensi antagonism
ini yang pada gilirannya akan memunculkan gejala in group dan out group di antara mereka.
2. Hancurnya kesatuan kelompok
Konflik yang tidak berhasil diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang
tentu kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran.
3. Adanya perubahan kepribadian individu
Di dalam suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang
semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif, dan mudah marah, lebih-
lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan.
4. Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada.
Antara nilai-nilai dan norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional,
artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma-norma sosial akibat dari ketidakpatuhan anggota masyarakat akibat dari konflik atau juga hancurnya nilai-nilai dan
norma sosial berakibat konflik.
5. Hilangnya harta benda (material) dan korban manusia
Jika konflik tidak terselesaikan hingga terjadi tindakan kekerasan atau perang maka pasti akan
berdampak pada hilangnya material dan korban manusia. Contohnya konflik antara Amerika Serikat
dengan Irak yang berkepanjangan akibatnya kedua belah pihak sama-sama kehilangan material dan
korban baik militer maupun sipil.
6. Tahap Resolusi Konflik
Menurut Johan Galtung, pendekatan dalam resolusi konflik antaralain merujuk kepada
upaya deskripsi konflik. Hal ini memuat 3 unsur utama, yaitu:
1. Ketidak sesuaian diantara kepentingan, atau kontradiksi diantara kepentingan atau, menurut
istilah akademisi C.R. Mitchell sebagai suatu “ketidakcocokan diantara nilai-nilai sosial dan struktur
sosial”.
2. Prilaku negatif dalam bentuk persepsi atau streotipe yang berkembang diantara pihak-pihak yang
berkonflik.
3. Prilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan.
John Burton menjelaskan studi konflik memiliki 2 fokus perhatian, yaitu:
1. Menjelaskan gejala konflik dan kekerasan didalam masyarakat dunia, guna menemukan
pendekatan konstruktif untuk memecahkan konflik yang terjadi.
2. Memberikan penejelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari
proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.
Studi yang mencari penjelasan tentang konflik akan memungkinkan adanya peramalan
(prediction). Bahkan, bukan hanya pencegahan (prevention), tapi juga ‘provention’.
Resolusi konflik dimaksudkan oleh Burton sebagai upaya transformasi hubungan yang
berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu prilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama.
Ada perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik
dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau
dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).
Resolusi konflik merupakan suatu terminology ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk
melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam
beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Secara empirik, resolusi konflik dilakukan
dalam empat tahap, yaitu:
1. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan
kekerasan bersenjata yang terjadi.
2. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elite politik
dari kelompok-kelompok yang bertikai.
3. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem solving approach.
4. Tahap keempat, memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan
perombakan-perombakan struktur sosial budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan
komunitas perdamaian yang langgeng.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa hal penting dalam resolusi konflik antara lain adalah:
. De-eskalasi berupa pembendungan, penyekatan, gencatan dan perlucutan senjata di tengah
masyarakat.
2. Intervensi kemanusiaan berupa relokasi pengungsi / pendatang adalah menempatkan kembali
pengungsi/ pendatang sesuai konteks adaptasi kehidupan dan kontrak sosial baru yang sejalan
dengan keinginan yang bersangkutan dan tingkat penerimaan penduduk setempat. Melakukan
segregasi (pemisahan tempat tinggal berdasarkan agama/ etnis/ faksi) jangka pendek / menengah.
3. Rehabilitasi fisik, mental, perdata adalah membangun kembali sarana fisik: ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan seterusnya yang telah hancur akibat konflik, trauma center untuk pemulihan mental
dan kejelasan status kepemilikan.
4. Negosiasi politik dan rekonstruksi sosial budaya adalah membangun kembali hubungan sosial,
peredam ikatan budaya dan tingkat kepercayaan yang telah hancur, menjadi bangunan masyarakat
multikultural yang harmonis dan egaliter.
5. Rekonsiliasi adalah program atau kegiatan mediasi sosial diantara pihak-pihak yang bertikai untuk
hidup baru, bersedia menerima dan berhubungan lagi secara damai, sejajar, bertindak adil,
mengubah prilaku yang buruk, saling memaafkan dan mau melupakan kepedihan masa lalu untuk
menyongsong masa depan yang lebih baik.
Silahkan rangkum dan kirimkan ke gc. Mnggu depan ibu akan jelaskan ya
Jangan lupa isi absen.
Absen kelas XI
1. XI IPS 3 : https://forms.gle/AmBFkH2KJt2JtcBW9
2. XI IPS 4 : https://forms.gle/Kq3p2FWQksVkQDHZ6
3. XI IPS 5 : https://forms.gle/6UFHzjGBS3toafNN8
Komentar
Posting Komentar